ALLAH LEBIH BERHAK ATAS MEREKA
Menyiapkan perbekalan dengan sebaik-baiknya adalah sebuah keharusan, terutama untuk sebuah rencana besar menuju baitullah di Makkah untuk berhaji. Baik menyiapkan perbekalan yang mesti dibawa ataupun menyiapkan dan membereskan apa-apa saja yang akan ditinggalkan selama pergi haji.
Dan di antara hal yang paling merisaukan bagi kami sebagai orang tua muda adalah kenyataan untuk meninggalkan anak yang masih kecil-kecil. Beberapa minggu setelah mendaftar haji, saya mendapati diri saya hamil lagi, yang artinya sembilan bulan kemudian saya memiliki bayi, anak kedua kami. Artinya pula ketika berangkat haji kemungkinan besar saya meninggalkan 2 anak kecil yang masih berusia 3 tahun dan 1 tahun dalam waktu yang cukup lama, sekitar 40 hari.
Kalau dipikir-pikir tentu hal ini cukup berat dan merisaukan bagi orang tua muda seperti saya. Bagaimana anak-anak saya nanti. Siapa yang akan merawatnya? Bagaimana dengan asupan makanan atau asi untuk si kecil? Bagaimana kalau mereka sakit? Dan banyak lagi katakutan-ketakutan lain.
Tapi ada keyakinan dihati kami bahwa Allah lebih berhak atas mereka, maka Allahlah yang lebih bisa menjaga mereka, Allahlah yang lebih mampu melindungi mereka. Dengan keyakinan ini, tenanglah hati saya dan suami untuk meninggalkan mereka beberapa waktu.
Ternyata lagi-lagi ada hal lain yang menyurutkan niat pergi haji kami. Dua bulan sebelum keberangkatan, anak pertama kami yang berusia 2 tahun 9 bulan dinyatakan dokter terkena TB, dan dia harus menjalani pengobatan TB selama 6 bulan dengan rutin tanpa bolong seharipun. Sungguh sangat menyedihkan buat saya sebagai ibunya, anak pertama saya ini memang sejak kecil sering sakit-sakitan, badannya kurus dan terlihat lemah. Tentu saja pengobatan setiap hari terasa sangat berat, terlebih lagi dia susah sekali untuk minum obat. Membayangkan 40 hari tanpa ibunya dan harus minum obat sepertinya adalah hal yang tidak mungkin.
Saat itu suami saya yang semula sudah mantap untuk berangkatpun mulai goyah lagi, keinginan untuk menunda berangkat haji tahun itu mulai dipikirkannya. Tapi tidak buat saya, keberangkatan haji 2 bulan lagi itu malah menjadi anugerah tak ternilai dan kesempatan yang sangat tepat untuk mendoakan anak-anak, terutama untuk sakitnya ini. Berdoa di depan ka’bah tentu lebih menggairahkan dan menambah kemakbulan doa bukan? Saya berpikir positif saja dan yakin pembantu yang ada di rumah ibu pasti bisa melaksanakan amanah untuk memberikan obat setiap hari pada anak pertama saya selama saya pergi haji. Keyakinan itulah yang menjadi energi positif bagi saya, anak saya dan pembantu untuk siap menghadapi segala kondisi yang akan terjadi
MEMENUHI KEBUTUHAN
Yang paling penting sebelum meninggalkan anak-anak adalah mempersiapkan segala sesuatunya dan memastikan anak-anak akan tercukupi segala kebutuhannya selama jauh dari orang tuanya. Beberapa hal yang bisa dijadikan tips untuk orang tua yang akan meninggalkan anaknya yang masih kecil adalah seperti yang saya persiapkan kala itu.
Saya sediakan susu yang mereka konsumsi selama 2 bulan, sekitar 8 kotak susu 800gram, lalu diapers untuk anak kedua saya, sampai 6 pak @20 biji. Berikut juga obat-obatan seperti penurun panas, oralit dan suplemen tambahan seperti madu dan sebagainya.
Tidak lupa pula saya belikan mainan-mainan baru yang belum pernah dibuka selama saya ada di sisinya. Akan ada mainan baru yang bakal mereka dapatkan selama saya pergi, tidak perlu yang mahal, murah meriah saja, yang penting anak-anak belum pernah melihatnya. Saya berpesan sebelumnya kepada pembantu di rumah untuk membukanya saat dia tidak sanggup lagi mengatasi masalah anak-anak, misalnya ketika mereka sakit, ketika sulit minum obat atau kalau mereka lagi bandel, bertengkar atau marah-marah.
Saya masih ingat ada satu mainan yang istimewa bagi sang kakak, kotak peralatan tukang dengan beragam alat-alat di dalamnya, saya tahu sang kakak sangat senang dengan serial tv bob the builder. Maka saya bilang sama pembantu untuk mengeluarkan satu alat saja dalam sehari, agar dia selalu bersemangat menunggu hari esok untuk alat tukang yang lain. Yah untuk sementara waktu kita boleh memanjakan mereka dengan mainan bukan? Apalagi saat orang-orang yang seharusnya berada disisinya tidak bisa lagi menemani mereka untuk membantu menyelesaikan masalahnya.
Ada juga tip dari saudara saya yang membungkus mainan-mainan itu seolah dikirim dari Tanah Suci, dan anaknya akan mendapatkan setiap pekan sekali, yang disangka kiriman dari orang tua yang selalu menyayanginya. Insya Allah dengan seperti itu anak-anak akan selalu terhibur dan semangat untuk menunggu kiriman selanjutnya.
Saya berusaha menyiapkan segala hal untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan mereka. Sehingga saya bisa menjalankan haji dengan tenang, beribadah dengan sepuas-puasnya. Tentu saja hal yang lumrah kalau saya tetap memikirkan anak-anak selama menjalankan ibadah haji, paling tidak dengan persipan yang baik, saya tidak lagi terlalu mengkhawatirkan mereka.
Selain itu kami juga menyiapkan segala hal yang mungkin terjadi, termasuk kalau kami tidak bisa pulang lagi ke tanah air, kami harus siapkan surat-surat penting, surat-surat tanah dan rumah, kartu keluarga, akta kelahiran sampai asuransi pendidikan untuk anak-anak kami
Alhamdulillah, Allah memang tidak akan membiarkan hambanya dalam kekhawatiran selama hambanya memenuhi panggilanNya. Syukur saya panjatkan, anak-anak selama jauh dari orang tuanya ternyata lebih mandiri dan pintar-pintar. Yang saya takuti tidak pernah terjadi, mereka sehat-sehat selalu dan bahagianya saya melihat mereka lebih segar dan tambah besar. Subhanallah, Engkau mendengar do’a-do’a kami.
ANAK ADALAH TITIPAN ALLAH
Kami berkeinginan kuat untuk mengkampanyekan berhaji di waktu muda. Jangan jadikan anak-anak yang masih kecil sebagai alasan untuk menunda haji, saat secara materi dan kemampuan kita telah memenuhi wajib haji. Kita tidak tahu siapa yang akan meninggalkan siapa? Boleh jadi saat kita tak ingin meninggalkan anak-anak untuk berhaji, lalu Allah berkehendak lain, anak-anaklah yang akan meninggalkan kita untuk selama-lamanya! Lalu saat itu terjadi, kita bisa berbuat apa?
Pernah saya mendengar kisah sebuah keluarga yang sebenarnya sudah mampu untuk berhaji, tapi karena menyaksikan anak-anaknya yang masih kecil, mereka mengurungkan niatnya, mereka belum mau meninggalkan anak-anaknya sementara waktu untuk berhaji. Memang benar mereka tidak pernah meninggalkan anak-anaknya, tapi Allah memanggil anaknya terlebih dahulu, sang anaknyalah yang meninggalkan mereka. Yah sang anak meninggalkan mereka bukan untuk berhaji, bukan untuk sementara waktu, tapi untuk selama-lamanya. Betapa menyesalnya mereka, betapa kacau balau pikiran sang ibu dan ayah.
Maka sekali lagi, anak adalah amanah (titipan) Allah, dan bukankah sebuah titipan bisa diambil kapan saja oleh Sang Pemilik. Jadi jangan ragu lagi meninggalkan mereka kalau kita sudah siap secara fisik dan finansial. Karena Allah sudah pasti senantiasa melindungi dan menjaga mereka selama kita menghadapNya untuk berhaji ataupun berumrah.
UJIAN CINTA
Seorang teman yang berniat pergi haji pernah mengeluhkan masalah ini. Dia mengaku sudah paham betul kalau Allah akan menjaga sang buah hatinya yang masih balita. Dia tidak pernah ragu meninggalkan anaknya Yang dia pikirkan bukan lagi siapa yang merawat anaknya, bagiamana kalau sang anak sakit, atau bagaimana kondisi sang anak jika jauh dari orang tuanya. Tapi yang jadi beban pikirannya adalah rasa kangen yang bakal dideritanya jika jauh dari anaknya. Itulah yang menyebabkan dia ingin pergi haji hanya beberapa hari saja. Prinsipnya begitu ibadah hajinya sudah selesai dia ingin segera terbang ke tanah air, tanpa harus menunggu 40 hari. Tentu saja bagi kita yang tinggal di Indonesia hal seperti ini sulit dilakukan.
Diapun bercerita tentang kondisinya saat pergi umrah sathun lalu. Begitu ibadah umrahnya selesai, bagaimana dia dihinggapi rasa kangen yang luar biasa pada anaknya. Dia tidak bisa tidur, tidak bisa menikmati ziarah, jalan-jalan atau belanja. Yang terus dipikirkan adalah anaknya di rumah, yang ribuan kilo jarak darinya.
Apa yang dialami teman saya sangatlah manusiawi. Sebagai orang tua, anak adalah buah hati, bagian dari dirinya. Orang tua tentu sangat mencintai anaknya, bahkan bisa melebihi cintanya kepada yang lain. Tapi disinilah letak ujian kecintaan kepada Allah, pencipta kita, tambatan hati dan tempat bergantung segala sesuatu. Jangan sampai kecintaan kita kepada mahluk Nya termasuk anak sendiri, mengalahkan kecintaan kita pada sang Khaliq, yang mencipta mahluk itu. Karenanya rasa kangen dan kerinduan yang paling tepat adalah kerinduan untuk berjumpa dengan Allah, mendekat kepada Allah, dan salah satunya adalah bertautnya hati dengan baitullah, bukan anak di tanah air. Artinya ketika kita telah berada di sana, puas-puaskan rasa kangen dan kerinduan dengan Nya, karena kita hanya punya waktu 40 hari. Setelah itu mau tidak mau kita harus pulang. Pergunakan dengan maksimal jatah waktu itu, insya Allah dengan begitu kita tidak ingin cepat-cepat pulang dan didera rasa kangen yang mendalam kepada anak kita di tanah air.
Sunday, July 19, 2009
Memutuskan Berhaji
MIMPI DAN KEYAKINAN
Mungkin saya bukanlah orang yang rasional, seperti yang pernah di bilang oleh suami. Tipe saya (berdasarkan kuisioner yang pernah saya isi untuk mengetahui kepribadian) adalah seorang pemimpi yang berbakti. Mungkin benar adanya, saya memiliki banyak mimpi dan saya ingin mewujudkannya, salah satunya adalah berhaji selagi masih muda. Saya percaya kepada keajaiban-keajaiban, saya sangat percaya pada do’a, pada hal-hal diluar nalar manusia, karena Allah begitu luar biasa kuasa, luar biasa berkehendak. Kun Fayakun. Jadilah apa yang dikehendaki Nya dengan semudah-mudahnya, lebih mudah dari membalikkan kedua tangan.
Percaya atau tidak, keajaiban-keajaiban itu akan muncul di kala tangan kita sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi, rasa pasrah membuat Allah turun tangan membantu dan menunjukkan kuasanya.
Christhoper Columbus tentu tidak akan pernah menemukan benua Amerika, kalau saja dia tidak memiliki mimpi untuk menemukan daratan timur dengan berlayar ke barat. Perjalanan laut dan terobang-ambing selama 33 hari dengan bekal yang telah habis pasti akan menyurutkan nyalinya, kalau saja dia tidak yakin bahwa Tuhan telah menunjuknya sebagai pengubah dunia. Yah dunia tentu saja jadi berubah dengan ditemukannya benua Amerika ini. Berbeda dengan Talavera, seorang ilmuwan yang hidup pada saat itu, ketika mengetahui impian Columbus, dengan sombongnya menganggap Columbus sebagai orang bodoh yang tak memiliki otak, menghayalkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Di kemudian hari kita sadar, apalah gunanya seorang Talavera, karena seorang ilmuwan yang tidak memiliki impian tidak akan menghasilkan apa-apa.
Atau lihatlah Muhammad, pemuda 23 tahun itu mampu membebaskan Konstantinopel, beliaupun dijuluki Al Fatih, Sang Penakluk. Tahukah saudara apa yang membuat seorang anak muda ini begitu bersemangat?
Semua itu tak lain karena impiannya, untuk mewujudkan ramalan Rosulullah ratusan tahun sebelumnya, bahwa "Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan pasukan yang berada dibawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan." (HR. Ahmad bin Hanbal Musnadnya)
Dan Sultan muda ini memimpikan bahwa pemimpin yang dimaksud Rosulullah itu adalah dirinya. Beliaupun berusaha terus menempa dirinya untuk menjadi sebaik-baik pemimpin dengan tidak pernah meninggalkan solat wajib, tahajud & rawatib sejak baligh hingga saat kematiannya. Sedangkan pasukan yang berada di bawah komandonya tidak pernah meninggalkan solat wajib sejak baligh & separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan solat tahajjud sejak baligh. Itulah sebaik baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan.
Dan semua akan terjadi begitu saja, seperti impiannya. Subhanallah delapan abad kemudian, ramalan Rasulullah pun terbukti. Sultan muda dari kerajaan Turki Utsmani itu berhasil menuntaskan amanat Rosulullah dengan menaklukkan Konstantinopel..
Dua contoh di atas bisa menjadi bukti, bahwa hal-hal yang sepertinya tidak mungkin dan berada di dunia awang-awang akan menjadi kenyataan kalau kita yakin dengan kebesaran Allah. Itulah yang saya rasakan sampai Allah memanggil kami menjadi tamu di rumah Nya, baitullah di Makkah. Alhamdulillah.
Jadi tidak ada yang tidak mungkin bila kita telah bersepakat dengan kekuasaan Allah. Banyak orang yang “tiba-tiba” saja bisa berangkat ke baitullah, bila mereka telah berniat, bertekad dan memutuskan untuk haji.
ALLAH MAHA KAYA
Kesepakatan saya dengan kekuasaan Allah sungguh-sungguh terbukti ketika kami telah memutuskan untuk mendaftar haji dan tidak lagi memikirkan kebutuhan-kebutuhan lain. Tiba-tiba saja Allah mengucurkan rezeki begitu deras bagi kami, selain beasiswa kuliah suami di Australia yang bisa kami tabung separuhnya, suami juga mendapat proyek riset dari orang Singapura yang sedang belajar di Canberra. Yang sangat saya syukuri, sayapun bisa mengerjakannya di tengah kesibukan merawat anak pertama saya yang kala itu berusia 1,5 tahun, saya juga dalam kondisi hamil anak kedua sampai si adik terlahir ke dunia. Pekerjaan riset ini bisa saya kerjakan di rumah. Sangat mudah bagi kami, tapi mungkin sulit bagi mereka, bule-bule itu. Saya dan suami hanya diminta memindahkan tulisan pego (arab gundul) berbahasa melayu ke dalam tulisan latin. Tulisan pego itu terdapat dari surat kabar bahasa Melayu tahun 1915-1930an. Wah seperti mendapat durian runtuh, bagi saya yang besar di pesantren tentu pekerjaan ini sangat menyenangkan. Biasanya suami mencari dan mengeprint surat kabar lawas itu di kampus, lalu saya terjemahkan di rumah. Kuliah suami juga tidak terganggu dengan pekerjaan ini karena istrinya banyak membantu. Tentu saja honornya lumayan besar bila di kurskan dalam rupiah. Saya bisa mengantongi 400 ribu per halaman, dan karena hanya memindahkan tulisan, bukan menerjemahkan, maka membutuhkan waktu tidak lama, hanya 15 sampai 20 menit. Dalam sehari saya bisa mengerjakan 2-3 halaman, ini berlangsung sekitar 6 bulan. Selain pekerjaan riset ini, kami pun semakin bersemangat mencari uang, suami mendapat kerja sampingan sebagai cleaning service di sebuah akademik, pernah juga menjadi letterbox deliverer (pengantar brosur). Saya ingat betul bagaimana suami saya menjadi kurus karena banyak berjalan dan berlari selama menjadi loper, tapi dia bilang menjadi loper adalah olah raga yang menguntungkan, selain dapat uang, badan jadi sehat dan anggap saja sebagai latihan untuk persiapan haji, bukankah haji membutuhkan banyak jalan dan fisik yang kuat?
Saya pun terkadang menerima childcare di rumah, untuk anak-anak Indonesia yang ditinggal orang tuanya kuliah atau kerja. Memang capek, rumah jadi berantakan, tapi saya justru mendapat berkahnya, anak-anak saya jadi punya teman, dan kadangkala orang tuanya membuatkan banyak makanan untuk kami. Saya tidak perlu masak lagi kan?
Aakhirnya terkumpullah dana untuk berhaji dan yang luar biasa kami bisa membeli rumah dari sisa tabungan kami. Bahkan ketika saatnya berangkat haji kami berangkat dari rumah sendiri di Depok, sebuah rumah yang sebelumnya kami takutkan tidak akan memilikinya bila tabungan kami dipakai untuk pergi haji. Bisa jadi ketika kami tidak memutuskan untuk berhaji saat itu mungkin kami belum memiliki rumah sampai sekarang. Sepertinya keputusan untuk mendahulukan haji itulah yang menyebabkan Allah memberi hadiah rumah bagi kami. Pergi haji bonus rumah, alangkah pemurahnya Tuhan kami. Alhamdulillah
PERTOLONGAN ALLAH ITU DEKAT
Sungguh apa yang saya ceritakan di atas hanyalah sebuah keinginan untuk berbagi, bagaimana kuasanya Allah dalam mengatur hamba-hambamya. Seorang saudara pernah menyarankan “bukalah segera tabungan haji, Allahlah yang akan menggenapkan” Saya telah merasakan kenyataan itu. Dan betapa banyak orang lain yang merasakan keajaiban ini. Bagaimana seorang yang begitu menggebu keinginannya untuk pergi haji, bisa berangkat dengan mudahnya, bahkan sampai pergi haji gratis. Ada yang berangkat dibiayai kantor, karena mendapat tugas liputan, menjadi petugas haji atau menjadi petugas medis, ada juga yang mendapat hadiah dari bank atau menang undian haji. Bisa juga naik haji karena ada seorang dermawan yang memberangkatkan kita.
Hal ini pernah terjadi pada ibu saya sendiri, ada seorang kenalan ibu saya yang menabungkan uangnya untuk berhaji, ini terjadi karena ibu saya seorang pembimbing haji. Kenalan ibu telah berniat haji kalau uangnya telah mencukupi, tapi ketika uangnya telah mencapai 20 juta, tiba-tiba saja dia memutuskan untuk tidak berangkat dan uangnya diberikan begitu saja kepada ibu saya untuk dipakai pergi haji. Saat itu ibu tidak habis pikir dengan keputusan kenalannya ini, tapi dia memaksa karena tidak mungkin dia berangkat dengan kondisinya saat itu, sering sakit dan tidak ada suami. Dia terus memaksa ibu untuk menggantikannya, Subhanallah, mungkin itu adalah balasan baik Allah kepada ibu saya yang telah membimbing banyak jamaah haji dengan tulus dan senang hati. Itulah hadiah untuk ibu saya, yang saya tahu pasti bagaimana cinta dan rindunya beliau kepada tanah haramain.
Yakinlah, semuanya mungkin saja terjadi, yang pasti Allah tidak akan membiarkan hambanya yang berniat mulia untuk berhaji tanpa pertolongan dari Nya. Allah benar-benar memudahkan hambanya yang ingin memenuhi panggilan suci Nya. Semoga sebentar lagi giliran anda saudaraku!
JANGAN TUNDA LAGI
Lalu apa yang terjadi jika kita masih saja menunda-nunda keputusan untuk berhaji sedang secara materi, fisik dan spiritual kita sebenarnya telah siap? Beberapa cerita dan kisah di bawah ini bisa kita jadikan pelajaran dan pengalaman yang berharga untuk segera memutuskan pergi haji jika dinilai telah siap. Sungguh apa-apa yang terjadi pada diri kita tidaklah tetap sama. Roda kehidupan selalu berputar, suka duka, kaya miskin, sehat sakit pasti menggiliri setiap manusia. Ada saat kita berada di atas, ada saat pula berada di bawah. Kita tidak tahu akankah sebuah kesempatan bisa berulang lagi dan yang pasti kita pun tidak tahu kapan ajal menjemput. Rosulullah pun telah berpesan pada kita untuk mengingat lima perkara sebelum lima perkara. Sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, muda sebelum tua, lapang sebelum sempit dan hidup sebelum mati.
Seorang teman menceritakan tentang ayah ibunya yang sampai saat itu belum pergi haji juga, padahal secara materi mereka telah mampu, fisik masih sehat, dan anak-anaknya pun telah beranjak remaja yang tentunya tidak terlalu dikhawatirkan bila ditinggalkan dalam waktu relatif lama Tapi entah karena sebab apa mereka masih saja mengurungkan niat untuk berhaji. Sampai suatu saat sang ibu mengalami kecelakaan yang mengharuskannya istirahat dalam waktu cukup lama dan membutuhkan perawatan serta terapi khusus untuk memulihkan kesehatannya seperti semula. Akhirnya merekapun mengingat akan kewajiban berhaji saat mereka menyadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk kesembuhannya setara dengan ongkos dua orang naik haji. Allah mengingatkan mereka dengan cara Nya sendiri, dan sepantasnya mereka bersyukur karena kesempatan yang masih diberikanNya, hanya dalam waktu satu tahun stelah sembuh dari sakit, mereka bisa mendaftar sebagai jamaah haji. Tentu saja kali ini mereka bersegera, dengan segenap keyakinan dan tanpa pikir panjang lagi.
Namun yang terjadi dengan seseorang di tempat lain sangatlah berbeda, dari cerita diketahui betapa terhormatnya dia dengan kekayaan dan ilmu agamanya, dia seorang pengusaha dan keturunan kyai, namun sayang ketika harta dan kesehatan ada dalam dekapan tak juga dia menunaikan ibadah haji. Akhirnya kesempatan itu pergi begitu saja, karena saat dia berkeinginan kuat untuk pergi haji usahanya terus mengalami penurunan dan usia pun semakin senja. Sampai ketika Allah memanggilnya, keinginan melihat baitullah tak kunjung terobati, penyesalan di dada disampaikannya pada anak cucunya. Berhaji janganlah ditunda-tunda, begitulah pesan terakhirnya.
Mungkin saya bukanlah orang yang rasional, seperti yang pernah di bilang oleh suami. Tipe saya (berdasarkan kuisioner yang pernah saya isi untuk mengetahui kepribadian) adalah seorang pemimpi yang berbakti. Mungkin benar adanya, saya memiliki banyak mimpi dan saya ingin mewujudkannya, salah satunya adalah berhaji selagi masih muda. Saya percaya kepada keajaiban-keajaiban, saya sangat percaya pada do’a, pada hal-hal diluar nalar manusia, karena Allah begitu luar biasa kuasa, luar biasa berkehendak. Kun Fayakun. Jadilah apa yang dikehendaki Nya dengan semudah-mudahnya, lebih mudah dari membalikkan kedua tangan.
Percaya atau tidak, keajaiban-keajaiban itu akan muncul di kala tangan kita sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi, rasa pasrah membuat Allah turun tangan membantu dan menunjukkan kuasanya.
Christhoper Columbus tentu tidak akan pernah menemukan benua Amerika, kalau saja dia tidak memiliki mimpi untuk menemukan daratan timur dengan berlayar ke barat. Perjalanan laut dan terobang-ambing selama 33 hari dengan bekal yang telah habis pasti akan menyurutkan nyalinya, kalau saja dia tidak yakin bahwa Tuhan telah menunjuknya sebagai pengubah dunia. Yah dunia tentu saja jadi berubah dengan ditemukannya benua Amerika ini. Berbeda dengan Talavera, seorang ilmuwan yang hidup pada saat itu, ketika mengetahui impian Columbus, dengan sombongnya menganggap Columbus sebagai orang bodoh yang tak memiliki otak, menghayalkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Di kemudian hari kita sadar, apalah gunanya seorang Talavera, karena seorang ilmuwan yang tidak memiliki impian tidak akan menghasilkan apa-apa.
Atau lihatlah Muhammad, pemuda 23 tahun itu mampu membebaskan Konstantinopel, beliaupun dijuluki Al Fatih, Sang Penakluk. Tahukah saudara apa yang membuat seorang anak muda ini begitu bersemangat?
Semua itu tak lain karena impiannya, untuk mewujudkan ramalan Rosulullah ratusan tahun sebelumnya, bahwa "Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan pasukan yang berada dibawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan." (HR. Ahmad bin Hanbal Musnadnya)
Dan Sultan muda ini memimpikan bahwa pemimpin yang dimaksud Rosulullah itu adalah dirinya. Beliaupun berusaha terus menempa dirinya untuk menjadi sebaik-baik pemimpin dengan tidak pernah meninggalkan solat wajib, tahajud & rawatib sejak baligh hingga saat kematiannya. Sedangkan pasukan yang berada di bawah komandonya tidak pernah meninggalkan solat wajib sejak baligh & separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan solat tahajjud sejak baligh. Itulah sebaik baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan.
Dan semua akan terjadi begitu saja, seperti impiannya. Subhanallah delapan abad kemudian, ramalan Rasulullah pun terbukti. Sultan muda dari kerajaan Turki Utsmani itu berhasil menuntaskan amanat Rosulullah dengan menaklukkan Konstantinopel..
Dua contoh di atas bisa menjadi bukti, bahwa hal-hal yang sepertinya tidak mungkin dan berada di dunia awang-awang akan menjadi kenyataan kalau kita yakin dengan kebesaran Allah. Itulah yang saya rasakan sampai Allah memanggil kami menjadi tamu di rumah Nya, baitullah di Makkah. Alhamdulillah.
Jadi tidak ada yang tidak mungkin bila kita telah bersepakat dengan kekuasaan Allah. Banyak orang yang “tiba-tiba” saja bisa berangkat ke baitullah, bila mereka telah berniat, bertekad dan memutuskan untuk haji.
ALLAH MAHA KAYA
Kesepakatan saya dengan kekuasaan Allah sungguh-sungguh terbukti ketika kami telah memutuskan untuk mendaftar haji dan tidak lagi memikirkan kebutuhan-kebutuhan lain. Tiba-tiba saja Allah mengucurkan rezeki begitu deras bagi kami, selain beasiswa kuliah suami di Australia yang bisa kami tabung separuhnya, suami juga mendapat proyek riset dari orang Singapura yang sedang belajar di Canberra. Yang sangat saya syukuri, sayapun bisa mengerjakannya di tengah kesibukan merawat anak pertama saya yang kala itu berusia 1,5 tahun, saya juga dalam kondisi hamil anak kedua sampai si adik terlahir ke dunia. Pekerjaan riset ini bisa saya kerjakan di rumah. Sangat mudah bagi kami, tapi mungkin sulit bagi mereka, bule-bule itu. Saya dan suami hanya diminta memindahkan tulisan pego (arab gundul) berbahasa melayu ke dalam tulisan latin. Tulisan pego itu terdapat dari surat kabar bahasa Melayu tahun 1915-1930an. Wah seperti mendapat durian runtuh, bagi saya yang besar di pesantren tentu pekerjaan ini sangat menyenangkan. Biasanya suami mencari dan mengeprint surat kabar lawas itu di kampus, lalu saya terjemahkan di rumah. Kuliah suami juga tidak terganggu dengan pekerjaan ini karena istrinya banyak membantu. Tentu saja honornya lumayan besar bila di kurskan dalam rupiah. Saya bisa mengantongi 400 ribu per halaman, dan karena hanya memindahkan tulisan, bukan menerjemahkan, maka membutuhkan waktu tidak lama, hanya 15 sampai 20 menit. Dalam sehari saya bisa mengerjakan 2-3 halaman, ini berlangsung sekitar 6 bulan. Selain pekerjaan riset ini, kami pun semakin bersemangat mencari uang, suami mendapat kerja sampingan sebagai cleaning service di sebuah akademik, pernah juga menjadi letterbox deliverer (pengantar brosur). Saya ingat betul bagaimana suami saya menjadi kurus karena banyak berjalan dan berlari selama menjadi loper, tapi dia bilang menjadi loper adalah olah raga yang menguntungkan, selain dapat uang, badan jadi sehat dan anggap saja sebagai latihan untuk persiapan haji, bukankah haji membutuhkan banyak jalan dan fisik yang kuat?
Saya pun terkadang menerima childcare di rumah, untuk anak-anak Indonesia yang ditinggal orang tuanya kuliah atau kerja. Memang capek, rumah jadi berantakan, tapi saya justru mendapat berkahnya, anak-anak saya jadi punya teman, dan kadangkala orang tuanya membuatkan banyak makanan untuk kami. Saya tidak perlu masak lagi kan?
Aakhirnya terkumpullah dana untuk berhaji dan yang luar biasa kami bisa membeli rumah dari sisa tabungan kami. Bahkan ketika saatnya berangkat haji kami berangkat dari rumah sendiri di Depok, sebuah rumah yang sebelumnya kami takutkan tidak akan memilikinya bila tabungan kami dipakai untuk pergi haji. Bisa jadi ketika kami tidak memutuskan untuk berhaji saat itu mungkin kami belum memiliki rumah sampai sekarang. Sepertinya keputusan untuk mendahulukan haji itulah yang menyebabkan Allah memberi hadiah rumah bagi kami. Pergi haji bonus rumah, alangkah pemurahnya Tuhan kami. Alhamdulillah
PERTOLONGAN ALLAH ITU DEKAT
Sungguh apa yang saya ceritakan di atas hanyalah sebuah keinginan untuk berbagi, bagaimana kuasanya Allah dalam mengatur hamba-hambamya. Seorang saudara pernah menyarankan “bukalah segera tabungan haji, Allahlah yang akan menggenapkan” Saya telah merasakan kenyataan itu. Dan betapa banyak orang lain yang merasakan keajaiban ini. Bagaimana seorang yang begitu menggebu keinginannya untuk pergi haji, bisa berangkat dengan mudahnya, bahkan sampai pergi haji gratis. Ada yang berangkat dibiayai kantor, karena mendapat tugas liputan, menjadi petugas haji atau menjadi petugas medis, ada juga yang mendapat hadiah dari bank atau menang undian haji. Bisa juga naik haji karena ada seorang dermawan yang memberangkatkan kita.
Hal ini pernah terjadi pada ibu saya sendiri, ada seorang kenalan ibu saya yang menabungkan uangnya untuk berhaji, ini terjadi karena ibu saya seorang pembimbing haji. Kenalan ibu telah berniat haji kalau uangnya telah mencukupi, tapi ketika uangnya telah mencapai 20 juta, tiba-tiba saja dia memutuskan untuk tidak berangkat dan uangnya diberikan begitu saja kepada ibu saya untuk dipakai pergi haji. Saat itu ibu tidak habis pikir dengan keputusan kenalannya ini, tapi dia memaksa karena tidak mungkin dia berangkat dengan kondisinya saat itu, sering sakit dan tidak ada suami. Dia terus memaksa ibu untuk menggantikannya, Subhanallah, mungkin itu adalah balasan baik Allah kepada ibu saya yang telah membimbing banyak jamaah haji dengan tulus dan senang hati. Itulah hadiah untuk ibu saya, yang saya tahu pasti bagaimana cinta dan rindunya beliau kepada tanah haramain.
Yakinlah, semuanya mungkin saja terjadi, yang pasti Allah tidak akan membiarkan hambanya yang berniat mulia untuk berhaji tanpa pertolongan dari Nya. Allah benar-benar memudahkan hambanya yang ingin memenuhi panggilan suci Nya. Semoga sebentar lagi giliran anda saudaraku!
JANGAN TUNDA LAGI
Lalu apa yang terjadi jika kita masih saja menunda-nunda keputusan untuk berhaji sedang secara materi, fisik dan spiritual kita sebenarnya telah siap? Beberapa cerita dan kisah di bawah ini bisa kita jadikan pelajaran dan pengalaman yang berharga untuk segera memutuskan pergi haji jika dinilai telah siap. Sungguh apa-apa yang terjadi pada diri kita tidaklah tetap sama. Roda kehidupan selalu berputar, suka duka, kaya miskin, sehat sakit pasti menggiliri setiap manusia. Ada saat kita berada di atas, ada saat pula berada di bawah. Kita tidak tahu akankah sebuah kesempatan bisa berulang lagi dan yang pasti kita pun tidak tahu kapan ajal menjemput. Rosulullah pun telah berpesan pada kita untuk mengingat lima perkara sebelum lima perkara. Sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, muda sebelum tua, lapang sebelum sempit dan hidup sebelum mati.
Seorang teman menceritakan tentang ayah ibunya yang sampai saat itu belum pergi haji juga, padahal secara materi mereka telah mampu, fisik masih sehat, dan anak-anaknya pun telah beranjak remaja yang tentunya tidak terlalu dikhawatirkan bila ditinggalkan dalam waktu relatif lama Tapi entah karena sebab apa mereka masih saja mengurungkan niat untuk berhaji. Sampai suatu saat sang ibu mengalami kecelakaan yang mengharuskannya istirahat dalam waktu cukup lama dan membutuhkan perawatan serta terapi khusus untuk memulihkan kesehatannya seperti semula. Akhirnya merekapun mengingat akan kewajiban berhaji saat mereka menyadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk kesembuhannya setara dengan ongkos dua orang naik haji. Allah mengingatkan mereka dengan cara Nya sendiri, dan sepantasnya mereka bersyukur karena kesempatan yang masih diberikanNya, hanya dalam waktu satu tahun stelah sembuh dari sakit, mereka bisa mendaftar sebagai jamaah haji. Tentu saja kali ini mereka bersegera, dengan segenap keyakinan dan tanpa pikir panjang lagi.
Namun yang terjadi dengan seseorang di tempat lain sangatlah berbeda, dari cerita diketahui betapa terhormatnya dia dengan kekayaan dan ilmu agamanya, dia seorang pengusaha dan keturunan kyai, namun sayang ketika harta dan kesehatan ada dalam dekapan tak juga dia menunaikan ibadah haji. Akhirnya kesempatan itu pergi begitu saja, karena saat dia berkeinginan kuat untuk pergi haji usahanya terus mengalami penurunan dan usia pun semakin senja. Sampai ketika Allah memanggilnya, keinginan melihat baitullah tak kunjung terobati, penyesalan di dada disampaikannya pada anak cucunya. Berhaji janganlah ditunda-tunda, begitulah pesan terakhirnya.
Indahnya persaudaraan
Indahnya persaudaraan
Regu haji kami dan cerita di baliknya…
Beberapa bulan sebelum berangkat haji, saya telah mengetahui siapa-siapa saja yang akan bergabung dengan saya dalam satu regu. Apalagi saya mengikuti kelompok bimbingan haji yang telah mengatur berbagai jadwal pertemuan untuk melaksanakan bimbingan atau manasik haji. Total sebelum berangkat saya telah mengikuti 5-6 kali pertemuan. Paling tidak saya mulai mengenal karakter-karakter mereka yang satu regu dengan saya, meskipun tidak secara mendalam.
Kebersamaan saya bersama mereka selama 40 hari di tanah suci, dalam satu rangkaian kegiatan ibadah yang sama, tentu sangat berkesan dan membekas pada diri saya. Saya belajar banyak dari mereka, tentang semangat hidup, kerja keras, sabar dan syukur, kedermawanan, kepolosan, setia kawan, sampai hal ihwal keahlian seperti memasak, mengatur keuangan dan ilmu kesehatan. Pada kesempatan ini saya ingin bercerita tentang mereka, saya ingin berbagi pengalaman setelah berinteraksi dengan bermacam karakter manusia yang unik dan asyik ini.
Buah kerja keras dan isiqomah
Ada sepasang suami-istri, masing-masing berusia 50 tahun.dan 42 tahun. Mereka adalah penjual taoge dan kecambah di pasar kecamatan saya. Pasangan yang workaholic dan penuh semangat. Ketika orang lain masih terlelap dan menikmati mimpinya, mereka menyemai bibit-bibit baru kacang hijau, menjelang fajar merekapun telah menjelajahi tiap sudut pasar untuk menjual hasil kerjanya. Begitulah mereka tiap hari, sudah belasan tahun lelakon ini dijalani. Mulai dari nol mereka berusaha, kini mereka telah menjadi juragan taoge, setiap hari taoge mereka bisa mencapai 50 kg, luar biasa! Lewat taoge pula Allah memilih mereka untuk menjadi tamu-Nya. Mereka selalu bilang rezeki itu akan selalu berkecambah kalau kita senantiasa istiqomah (menjalani dengan terus-menerus). Yah, engkau benar, Pak, Bu! Saya terus mengingat nasehatnya dan mencoba untuk bisa istiqomah dalam setiap kebaikan, meskipun kadarnya terlihat sepele. Terima kasih untuk nasehatnya.
Menjadi kaya dengan memberi
Adalah seorang ibu 40 tahun dengan seorang anak gadisnya yang baru duduk di kelas 1 SMA. Saya telah mengenalnya cukup lama, bahkan ketika saya masih kecil. Dia adalah seorang pengusaha kaya. Pergi haji kali ini yang ke 3, untuk umrah sepertinya sudah lebih dari itu. Keliling dunia mungkin cita-citanya, negara-negara di Eropa kemudian Amerika, Cina, Thailand dan Australia telah dikunjunginya, apalagi Malaysia, dan Singapura, bisa jadi sudah menjadi Negara kedua baginya. Sebelum tidur kami sering mengobrol, karena memang tempat tidur saya berdekatan dengannya. Saya banyak belajar dari ceritanya. Bagaimana dia bersama suaminya memulai bisnis dari awal-awal menikah dulu. Mulai dari usaha rental mobil sampai bisnis travel (kini mereka telah memiliki banyak armada transportasi). Juga usaha bongkar muat di pelabuhan sampai bisnis peternakan. Saya selalu berpikir sepertinya untuk menjadi kaya itu memang sudah ada bakatnya (tentu saja karena takdir-Nya untuk memberi mereka bakat menjadi orang kaya). Tanpa kenal lelah mereka jatuh bangun dalam bisnisnya. Tanpa kenal takut mereka berspekulasi untuk siap menanggung berbagai resiko untung dan rugi usahanya.
Yang paling berkesan darinya adalah betapa pemurahnya dia. Keyakinannya yang mendalam bahwa uang yang kita miliki adalah yang kita infaqkan tampaknya membuat rezekinya tak pernah surut. Banyak cerita yang meluncur dari mulutnya, betapa Allah memudahkan dan mencukupkan segala keperluannya setelah dia membantu saudara atau orang lain yang membutuhkan pertolongan. “Shadaqah memang ajaib”, itulah pelajaran yang kudapat darinya, seorang ibu yang bersebelahan tempat tidur dengan saya ketika berada di Makkah. Seorang ibu yang sungguh kaya harta dan juga hatinya. Semoga Allah selalu mencintainya di dunia dan akhirat.
Kepolosan dan ketakutan yang menyusahkan
Inilah pasangan yang paling menarik, unik dan lucu bagi sebagian jamaah haji lainnya. Sepasang suami istri yang sudah cukup tua, saya tidak tau persis usianya. Mungkin sekitar 65 tahun dan 60 tahun. Pasangan yang sangat sederhana, polos dan cukup naif. Bahkan untuk hal-hal yang sangat sepele, seringkali membuat mereka bingung dan berakhir dengan masalah. Satu hal lagi yang menonjol dari pasangan ini adalah rasa takut yang berlebihan atas suatu hal, seperti takut tersesat, takut tertinggal, takut terjepit lift dan sebagainya. Saya sangat memaklumi kondisi ini, mereka sudah tua dan tentunya banyak hal-hal baru yang belum pernah dialami sebelumya, baik berkenaan dengan perbedaan alam dan budaya arab sampai kemajuan teknologi.
Saya tidak pernah melupakan kejadian ini. Sebuah kejadian yang membuat sang bapak harus menjalani rangkaian ibadah selama di Madinah dan Makkah dengan menggunakan kateter untuk menampung air kencingnya. Ceritanya berawal dari atas pesawat yang membawa kami dari tanah air ke Madinah. Selama kurang lebih sebelas jam perjalanan terbang, sang bapak terpaksa menahan keinginannya untuk buang air kecil. Apa pasal? Karena dilarang oleh istrinya! Karena mereka takut dengan kondisi toilet pesawat yang “beda” dengan toilet pada umumnya! Ketidakmengertian, keluguan dan kepolosan mereka berujung pada sakitnya sang bapak, beliau tidak bisa buang air kecil dengan baik selama menjalankan ibadah haji, akhirnya kemanapun dia pergi, termasuk menjalankan ibadah sholat, thawaf dan sebagainya, dia harus membawa kateter penampung air kencing, hal ini diperbolehkan karena kondisinya darurat. Hal lain yang sangat menonjol dari pasangan ini adalah kekompakannya, meski sering terdengar perselisihan dari mereka, tapi mereka sepertinya tak terpisahkan dalam kondisi apapun, Subhanallah.
Surga dunia itu mungkin telah ada
Selanjutnya pasangan muda yang sukses, yang laki-laki, 40 tahun, adalah seorang pejabat tinggi di sebuah bank pemerintah, sedangkan istrinya, 35 tahun, adalah seorang dokter di kota saya. Dalam pandangan banyak orang mereka adalah pasangan muda yang ideal dengan kesuksesan-kesuksesan yang telah mereka miliki. Rumah besar, gaji tinggi dengan jabatan dan pekerjaan mentereng, memiliki 2 anak lengkap, laki-laki dan perempuan yang sehat dan pintar. Waah sepertinya mereka telah mencicipi surga Nya di dunia. Yang luar biasa dari mereka adalah kebaikannya yang tidak pernah membeda-bedakan dengan siapa mereka bergaul. Semua kenikmatan yang didapatnya tidak membuat mereka lupa diri. Sebelumnya, saya agak takut dan sungkan untuk berinteraksi dengan mereka. Tapi setelah mengenal mereka dengan baik, ternyata mereka adalah pasangan yang menyenangkan, suka jalan-jalan dan punya selera humor bagus, jadilah regu kami tidak pernah sepi, selalu gembira dalam kondisi apapun. Termasuk ketika musibah kelaparan yang sempat menghantui masa-masa di Arafah dan Mina. Alhamdulillah, memang humor juga diperlukan sebagai jurus ampuh melunakkan hati, menyegarkan pikiran. Tentu saja humor yang baik adalah yang tidak mengandung kebohongan dan tidak menyinggung hati orang lain.
Keberadaan pasangan dengan profesi yang dimilikinya ini sangat menguntungkan regu dan rombongan haji kami, ada dokter dalam regu kami, sehingga bila ada keluhan-keluhan kesehatan kami tinggal bertanya dan konsultasi kepadanya kapan saja.
Berbagi Ilmu
Ada lagi seorang ibu yang berangkat sendirian tanpa suaminya, usianya 45 tahun. Dari ceritanya, si ibu ini baru saja menikah dengan pemuda 20an tahun, dia menikah lagi karena ditinggal mati suaminya. Dia sosok ibu yang humoris, ramai, pintar bergaul dan satu lagi pintar memasak! Beruntunglah saya satu regu dengannya. Kalau biasanya dalam regu haji ada giliran masak dan belanja, maka di regu kami tidak ada giliran lagi, yang ada adalah pembagian tugas,jamaah yang masih muda bagian belanja dan jamaah yang sudah tua bagian masak. Begitulah kesepakatan kami, karena rata-rata jamaah yang sudah tua enggan untuk keluar jalan-jalan, takut tersesat atau ada masalah di jalan. Waah tentu saja kami setuju sekali, pas banget dengan saya yang tidak bisa memasak.
Merekalah saudara seiman yang baik hati, yang menemani kami dalam suka dan duka selama menjalankan ibadah haji. Dari mereka kami banyak mendapatkan ilmu, pengalaman dan nasehat yang berharga tentang hidup dan kehidupan ini. Saya selalu merindukan masa-masa bersama mereka. Do’a saya, semoga Allah kelak mempertemukan kami di tempat yang lebih indah. Soraya
Regu haji kami dan cerita di baliknya…
Beberapa bulan sebelum berangkat haji, saya telah mengetahui siapa-siapa saja yang akan bergabung dengan saya dalam satu regu. Apalagi saya mengikuti kelompok bimbingan haji yang telah mengatur berbagai jadwal pertemuan untuk melaksanakan bimbingan atau manasik haji. Total sebelum berangkat saya telah mengikuti 5-6 kali pertemuan. Paling tidak saya mulai mengenal karakter-karakter mereka yang satu regu dengan saya, meskipun tidak secara mendalam.
Kebersamaan saya bersama mereka selama 40 hari di tanah suci, dalam satu rangkaian kegiatan ibadah yang sama, tentu sangat berkesan dan membekas pada diri saya. Saya belajar banyak dari mereka, tentang semangat hidup, kerja keras, sabar dan syukur, kedermawanan, kepolosan, setia kawan, sampai hal ihwal keahlian seperti memasak, mengatur keuangan dan ilmu kesehatan. Pada kesempatan ini saya ingin bercerita tentang mereka, saya ingin berbagi pengalaman setelah berinteraksi dengan bermacam karakter manusia yang unik dan asyik ini.
Buah kerja keras dan isiqomah
Ada sepasang suami-istri, masing-masing berusia 50 tahun.dan 42 tahun. Mereka adalah penjual taoge dan kecambah di pasar kecamatan saya. Pasangan yang workaholic dan penuh semangat. Ketika orang lain masih terlelap dan menikmati mimpinya, mereka menyemai bibit-bibit baru kacang hijau, menjelang fajar merekapun telah menjelajahi tiap sudut pasar untuk menjual hasil kerjanya. Begitulah mereka tiap hari, sudah belasan tahun lelakon ini dijalani. Mulai dari nol mereka berusaha, kini mereka telah menjadi juragan taoge, setiap hari taoge mereka bisa mencapai 50 kg, luar biasa! Lewat taoge pula Allah memilih mereka untuk menjadi tamu-Nya. Mereka selalu bilang rezeki itu akan selalu berkecambah kalau kita senantiasa istiqomah (menjalani dengan terus-menerus). Yah, engkau benar, Pak, Bu! Saya terus mengingat nasehatnya dan mencoba untuk bisa istiqomah dalam setiap kebaikan, meskipun kadarnya terlihat sepele. Terima kasih untuk nasehatnya.
Menjadi kaya dengan memberi
Adalah seorang ibu 40 tahun dengan seorang anak gadisnya yang baru duduk di kelas 1 SMA. Saya telah mengenalnya cukup lama, bahkan ketika saya masih kecil. Dia adalah seorang pengusaha kaya. Pergi haji kali ini yang ke 3, untuk umrah sepertinya sudah lebih dari itu. Keliling dunia mungkin cita-citanya, negara-negara di Eropa kemudian Amerika, Cina, Thailand dan Australia telah dikunjunginya, apalagi Malaysia, dan Singapura, bisa jadi sudah menjadi Negara kedua baginya. Sebelum tidur kami sering mengobrol, karena memang tempat tidur saya berdekatan dengannya. Saya banyak belajar dari ceritanya. Bagaimana dia bersama suaminya memulai bisnis dari awal-awal menikah dulu. Mulai dari usaha rental mobil sampai bisnis travel (kini mereka telah memiliki banyak armada transportasi). Juga usaha bongkar muat di pelabuhan sampai bisnis peternakan. Saya selalu berpikir sepertinya untuk menjadi kaya itu memang sudah ada bakatnya (tentu saja karena takdir-Nya untuk memberi mereka bakat menjadi orang kaya). Tanpa kenal lelah mereka jatuh bangun dalam bisnisnya. Tanpa kenal takut mereka berspekulasi untuk siap menanggung berbagai resiko untung dan rugi usahanya.
Yang paling berkesan darinya adalah betapa pemurahnya dia. Keyakinannya yang mendalam bahwa uang yang kita miliki adalah yang kita infaqkan tampaknya membuat rezekinya tak pernah surut. Banyak cerita yang meluncur dari mulutnya, betapa Allah memudahkan dan mencukupkan segala keperluannya setelah dia membantu saudara atau orang lain yang membutuhkan pertolongan. “Shadaqah memang ajaib”, itulah pelajaran yang kudapat darinya, seorang ibu yang bersebelahan tempat tidur dengan saya ketika berada di Makkah. Seorang ibu yang sungguh kaya harta dan juga hatinya. Semoga Allah selalu mencintainya di dunia dan akhirat.
Kepolosan dan ketakutan yang menyusahkan
Inilah pasangan yang paling menarik, unik dan lucu bagi sebagian jamaah haji lainnya. Sepasang suami istri yang sudah cukup tua, saya tidak tau persis usianya. Mungkin sekitar 65 tahun dan 60 tahun. Pasangan yang sangat sederhana, polos dan cukup naif. Bahkan untuk hal-hal yang sangat sepele, seringkali membuat mereka bingung dan berakhir dengan masalah. Satu hal lagi yang menonjol dari pasangan ini adalah rasa takut yang berlebihan atas suatu hal, seperti takut tersesat, takut tertinggal, takut terjepit lift dan sebagainya. Saya sangat memaklumi kondisi ini, mereka sudah tua dan tentunya banyak hal-hal baru yang belum pernah dialami sebelumya, baik berkenaan dengan perbedaan alam dan budaya arab sampai kemajuan teknologi.
Saya tidak pernah melupakan kejadian ini. Sebuah kejadian yang membuat sang bapak harus menjalani rangkaian ibadah selama di Madinah dan Makkah dengan menggunakan kateter untuk menampung air kencingnya. Ceritanya berawal dari atas pesawat yang membawa kami dari tanah air ke Madinah. Selama kurang lebih sebelas jam perjalanan terbang, sang bapak terpaksa menahan keinginannya untuk buang air kecil. Apa pasal? Karena dilarang oleh istrinya! Karena mereka takut dengan kondisi toilet pesawat yang “beda” dengan toilet pada umumnya! Ketidakmengertian, keluguan dan kepolosan mereka berujung pada sakitnya sang bapak, beliau tidak bisa buang air kecil dengan baik selama menjalankan ibadah haji, akhirnya kemanapun dia pergi, termasuk menjalankan ibadah sholat, thawaf dan sebagainya, dia harus membawa kateter penampung air kencing, hal ini diperbolehkan karena kondisinya darurat. Hal lain yang sangat menonjol dari pasangan ini adalah kekompakannya, meski sering terdengar perselisihan dari mereka, tapi mereka sepertinya tak terpisahkan dalam kondisi apapun, Subhanallah.
Surga dunia itu mungkin telah ada
Selanjutnya pasangan muda yang sukses, yang laki-laki, 40 tahun, adalah seorang pejabat tinggi di sebuah bank pemerintah, sedangkan istrinya, 35 tahun, adalah seorang dokter di kota saya. Dalam pandangan banyak orang mereka adalah pasangan muda yang ideal dengan kesuksesan-kesuksesan yang telah mereka miliki. Rumah besar, gaji tinggi dengan jabatan dan pekerjaan mentereng, memiliki 2 anak lengkap, laki-laki dan perempuan yang sehat dan pintar. Waah sepertinya mereka telah mencicipi surga Nya di dunia. Yang luar biasa dari mereka adalah kebaikannya yang tidak pernah membeda-bedakan dengan siapa mereka bergaul. Semua kenikmatan yang didapatnya tidak membuat mereka lupa diri. Sebelumnya, saya agak takut dan sungkan untuk berinteraksi dengan mereka. Tapi setelah mengenal mereka dengan baik, ternyata mereka adalah pasangan yang menyenangkan, suka jalan-jalan dan punya selera humor bagus, jadilah regu kami tidak pernah sepi, selalu gembira dalam kondisi apapun. Termasuk ketika musibah kelaparan yang sempat menghantui masa-masa di Arafah dan Mina. Alhamdulillah, memang humor juga diperlukan sebagai jurus ampuh melunakkan hati, menyegarkan pikiran. Tentu saja humor yang baik adalah yang tidak mengandung kebohongan dan tidak menyinggung hati orang lain.
Keberadaan pasangan dengan profesi yang dimilikinya ini sangat menguntungkan regu dan rombongan haji kami, ada dokter dalam regu kami, sehingga bila ada keluhan-keluhan kesehatan kami tinggal bertanya dan konsultasi kepadanya kapan saja.
Berbagi Ilmu
Ada lagi seorang ibu yang berangkat sendirian tanpa suaminya, usianya 45 tahun. Dari ceritanya, si ibu ini baru saja menikah dengan pemuda 20an tahun, dia menikah lagi karena ditinggal mati suaminya. Dia sosok ibu yang humoris, ramai, pintar bergaul dan satu lagi pintar memasak! Beruntunglah saya satu regu dengannya. Kalau biasanya dalam regu haji ada giliran masak dan belanja, maka di regu kami tidak ada giliran lagi, yang ada adalah pembagian tugas,jamaah yang masih muda bagian belanja dan jamaah yang sudah tua bagian masak. Begitulah kesepakatan kami, karena rata-rata jamaah yang sudah tua enggan untuk keluar jalan-jalan, takut tersesat atau ada masalah di jalan. Waah tentu saja kami setuju sekali, pas banget dengan saya yang tidak bisa memasak.
Merekalah saudara seiman yang baik hati, yang menemani kami dalam suka dan duka selama menjalankan ibadah haji. Dari mereka kami banyak mendapatkan ilmu, pengalaman dan nasehat yang berharga tentang hidup dan kehidupan ini. Saya selalu merindukan masa-masa bersama mereka. Do’a saya, semoga Allah kelak mempertemukan kami di tempat yang lebih indah. Soraya
Subscribe to:
Comments (Atom)